Senin, 30 September 2019

Sebuah Kisah, yang Biasa Aja; Nonton Film Horor Sendirian


I am invicible…

Kurang lebih sekitar sepuluh menit lagi, sampai menit yang ada di jam tanganku menyamai menit yang ada di e-tiket separuh harga di dalam HP-ku. Sementara posisiku, baru saja keluar dari gerbang parkiran motor.

I am invicible… invicible…

Tujuanku ada di lantai 5. Ku percepat langkahku, tetapi tetap santuy biar terlihat agak cool. Tentu saja, cool dalam perspektif dan harapanku sendiri.

I am invicible… fast... cool… but invicible…

Kata-kata di atas, terus terngiang di dalam kepalaku. Berjalan melewati orang-demi-orang, pasangan-demi-pasangan, mbak-mbak, pak satpam dengan peluitnya, mbak-mbak lagi, yang cukup manis, ya… ada juga mas-mas, tapi bodo amat. Aku lebih cinta mbak-mbak dibanding mas-mas.

Di dalam imajinasiku… Aku bisa melihat mereka, tapi mereka tidak bisa melihatku. Because…

I am, invicible… cool… ok, not so fast but cool...

...dan sendirian.

Haha.

Laki-laki. Sendirian. Menyusuri salah satu Mall terbesar di kota Surabaya. Ingin nonton film Horor. Sendirian. Malam Jum’at. Sendirian. Di jam tayang bioskop yang paling malam. Sendirian.

Kira-kira begitulah gambaran kondisiku malam itu. Ok ok, beberapa paragraf di atas memang agak mendramatisir. Tapi ya... memang seperti itulah kenyataannya. Jalan-jalan ke Mall sendirian seperti yang aku lakukan saat ini, sebenarnya bukan hal begitu wow atau gimana-gimana. Sedikit terindikasi kriminal mungkin iya. Tapi terima kasih teruntuk mukaku ya penuh ke-cool-an dan kesegaran yang haqiqi persis es cincau di terik siang hari, jadinya masih ngga terlalu kriminal. Pasti ada lah orang diluar sana yang juga malah lebih nyaman jalan ke Mall sendirian. Pasti… atau… ya, mungkin.

Gabut, pengen keluar. Nyoba nonton film horor ah...

begitulah kira-kira awal mula misi ini tercipta. Pure akibat dari sebuah rasa penasaran. Kemudian dikombinasikan dengan jalan ke Mall sendirian, nonton film horor, di hari kamis malam jum’at (karena ada promo), SENDIRIAN.

Disclaimer, sebenarnya tulisan ini dibuat setelah percobaan ke-2. Di percobaan pertama, aku nonton IT : Chapter Two. Sementara yang kedua ialah Danur 3 : Sunyanyuri. FYI juga, dua film ini adalah dua film genre horor pertama yang aku tonton di bioskop. Biasanya…. You know lah ya, nonton dimana...

Well, kalo mau jujur-jujuran sih, stigma nonton sendirian seperti ini terasa begitu suram banget di pikiranku. Udah sendirian, positif dikira jomblo padahal ya emang bener. Mau tiba-tiba gandeng tangan mbak-mbak manis yang jalan di sebelah juga takut dikira tindak pencemaran nama baik. Bahkan mau pake jurus “sok-sok an ngecek hape” pun, ngga ada yang chat. Belum lagi harus membayangkan rasanya jalan di belakang mas-mas dan mbak-mbak yang lagi gandengan tangan Syahdu by Rhoma Irama, sembari minum Kopi Janji Jiwa. Kemudian dengan sadar masuk, lalu duduk di tempat dimana ada banyak pasangan mas-mas dan mbak-mbak sejenis ‘mas dan mbak Kopi Janji Jiwa’ yang tadi berkumpul. Noleh kanan ada yang lagi asik ketawa-ketiwi sambil toel toel pipi. Ngelirik kiri ada yang lagi sender-senderan. Yang di depan, lagi bikin instastory pake efek-efek bando dan muka a….sudahlah.

Atas dasar menuntaskan rasa penasaran yang sudah kadung dibuat. Just stay invicible… gelo, mbaknya cuantek ben.. Astaghfirullah! stay cool… INVISIBLE… COOL… INVICIBLE!!

***

“Cor! lewat tiga menit!”

Seketika lamunanku terpecah ketika aku melihat jam di lengaku. Cemas. Hingga tanpa sengaja menguak kembali sebuah kenangan pada pengalaman percobaan pertamaku ketika nonton IT : Chapter Two, sendirian.

Sedikit kurang beruntung karena harus duduk di kursi paling ujung mepet dengan tembok. Dimana jika aku datang mepet atau lewat dari waktu jadwal tayang, maka aku harus melewati barisan kursi yang sudah lebih dulu penuh. Melalui tatapan-tatapan pasangan mbak dan mas yang sedang berbahagia. Lengkap dengan popcorn yang seharga sebungkus lele penyet favoritku, yang tiap beli di warung itu pasti digigiti nyamuk. Ngga kebayang dah apa intuisi dan isi pikiran mereka ketika menyaksikan seongok anak muda, jalan nunduk-nunduk lewat di depannya, menuju kursi paling pojok, nonton IT, FILM HOROR, SENDIRIAN!?!?

YA! SKENARIO TERSEBUT MENJADI KENYATAAN! 

Ok, stay cool brader...

Sungguh jiwa ke-cool-an ku diuji benar pada momen tersebut. Pas di sebelah kursi pojokan tersebut, duduk dua mbak-mbak yang sepertinya berkawan. Dimana saat aku lewat, keduanya benar-benar seperti memperhatikan setiap gerak-gerikku. Mulai dari aku lewat di depan mereka, hingga duduk di kursi pojokan tersebut. Berikut dengan tatapan yang seakan-akan berkata :

“What the Hell? Mas? Really?? pojokan nonton film horor sendirian?? sebegitu ngeneskah mas imut nan tampan satu ini?? jadi pengen meluk”.

Tentu saja tidak seperti itu donk, tatapan dan pikiran mereka!!!

Malu aku. Sumpah. Hahaha.

Tapi yasuda lah ya. Kan aku invicible and cool! Super very very cool! - by imajinasiku.

***

Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini aku memilih kursi tengah dan tidak terlalu dalam. Biar enak kalo mau pipis. Dan aku juga berhasil masuk ke dalam bioskop saat lampu masih terang. Ngga ada lagi tuh, tatapan-tatapan misterius seperti pada percobaan pertama. I am invicible and really cool… Hahaha.

Di percobaan keduaku kali ini, samping kanan kiriku adalah mas-mas. Di sebelah kanan, dua mas-mas, di sebelah kiri, mas dan mbak. Penyamaran yang sangat sempurna. Tidak terlihat seperti sedang nonton sendirian.

Tapi yang namanya hidup kan ya ngga ada yang tau, rupa-rupanya ujian selanjutnya baru dimulai setelah ini… wahai invicible and cool boy~~

Alasan mengapa aku memutuskan untuk melaksanakan misi nonton film horor sendirian kali ini ialah karena aku kurang puas saat nonton IT : Chapter Two. Bukan karena filmnya jelek, atau gimana. Cuman kebetulan, ketika aku nonton IT, di dalem bioskop hampir ngga ada yang teriak sama sekali. Cuma sekedar bunyik “hiik!” kecil dari mbak-mbak sebelahku.

Aku?? tentu saja juga sempat kaget sekitar 10 sampai 11 kali kalau ngga salah hitung. Masih tergolong cool awesome boy dong, ya kan? ya donk!. Meski menurutku hantu-hantu yang ada di film IT tidak menakutkan itu sih, lebih ke arah jijik. Justru paduan efek sound, alur cerita, dan jumpscare yang benar-benar ngga diduganya yang membuatku puas nonton film ini. Hal tersebut juga membuktikan bahwa ternyata, meskipun aku cool dan invicible, aku tetep kagetan.

Perasaan kurang puas dan sedang ada diskon potongan 50% benar-benar kombinasi yang luar biasa datang tepat pada waktunya. Tanpa banyak basa-basi kode kode sampah ke gebetan, ku langsung beli tiket Danur 3 : Sunyanyuri, dan disinilah aku. Duduk diantara mas-mas dengan segala persiapan mental dan fisik, biar ngga kagetan dan terlihat gagah pemberani nan tangguh. Tolak angin pun ready di saku celanaku. So... Perfecto!

I am ready! Hoho!

Lalu...

“Aaaaaaaaaaaaaakkkkk!”.

Terdengar suara jeritan mbak-mbak dibarisan belakang kursiku persis ketika penampakan pertama setannya muncul di layar bioskop.

Bukannya takut, aku malah senyum-senyum sendiri mendengar teriakan tersebut. Disusul juga suara tertawa dari penonton lain gara-gara jeritan mbak-mbak di belakang tadi. Malu dia pasti. Paling juga baru 15 menitan film mulai. Mungkin dia lagi nahan-nahan biar ngga kelepasan lagi. Padahal aku ngarep denger lagi sih aslinya. HAHA.

Tak seperti saat nonton IT, aku lebih jarang kaget di Danur 3 ini. Tetapi dari segi cerita, kerasa lebih relate dan mudah masuk dikepala ketimbang IT. Hanya sekedar perbedaan kultur sih. Wajar lah, kalo otakku lebih paham cerita hantu Indonesia dibandingkan hantu luar negeri yang lebih mengarah pada demonic-demonic gitu. Keduanya punya kualitas cerita yang tidak mengecewakan. Terutama yang IT. Hingga tak terasa, film pun selesai.

Puaspun kurasakan karena rasa penasaranku tercapai. Nonton film horor sendirian, dan mendengar jeritan mbak-mbak di dalem bioskop. Meski cuma satu “Aaaaaaaaakkk” doang, gapapalah.

Kesimpulannya?

Nonton sendirian, jalan menuju bioskop sendirian, terlihat seperti jomblo kurang perhatian, ternyata tidak sesuram yang aku bayangkan sebelumnya. Ngga sekejam meme-meme yang beredar. Malah punya kesan serta sensasi tersendiri. Dan... sepertinya patut untuk dicoba lagi. Meskipun... ketika keluar dari bioskop, aku masih harus berjalan tepat di belakang mas dan mbak yang lagi asik ngobrol entah apa, saling mencela satu sama lain, dan tertawa sangat bahagia. Ngga cuma satu pula, tapi banyak. Damn! naluri kejombloanku sedikit goyaaaah kapten!

Ok… Cool… aman… invicible… dan… Berdamai dengan diri sendiri.

Pada akhirnya, setiap orang punya cara mereka sendiri untuk bahagia. Bisa dengan cara mas mbak yang ketawa-ketiwi sembari nenteng gelas kosong Chatime tadi. Mungkin mau dikiloin. Bisa dengan mas dan mas atau beberapa mas-mas yang saling gojloki satu sama lain. Bisa juga dengan cara mbak dan mbak yang jalannya lambat banget kek lagi ngiringi manten. Tolong ya, mbak-mbak. Saya yang mau nyalip itu lho, masih pikir-pikir karena tergoda bau parfum anda-anda yang menguji hafalan Qobiltu Nikahaha Wataswijaha saya. Subhanallah....

Atau… kalau mau ikut jalan ninjaku yang nonton film horor sendirian ini juga ngga masalah. Pokoknya begitu ada diskon sikat wesss.

Akhirnya, malam itu ku tutup dengan mendengarkan lagu Boy With Luv dari BTS sembari ngantri panjang untuk keluar dari parkiran. Again, masih dengan menikmati pemandangan mas dan mbak bahagia, di atas motor-motor mereka~

Still, I am invicible… and cool… even my instagram account hasn’t been verified yet!

Wassalam!

Share:

Rabu, 26 Juni 2019

Shampo Kosan Story



Pernah kebayang ngga sih, gimana kalau shampo yang biasa kita pakai buat menambah keimanan serta kewangian rambut, ternyata punya kehidupan?

Punya keresahan, punya hasrat, punya keinginan dan tujuan hidup?

Tentu saja tidak. Shampo kan barang mati. Ngapain punya tujuan hidup!

Well, karena kata orang-orang bijak “ubahlah gabutmu menjadi sebuah karya”, aku jadi ingin berimajinasi bagaimana jika Shampo yang ada di kosan ku ternyata juga punya kegalauan dalam dirinya. Biar kayak karya-karya novelis ternama, mari kita mulai kisah perjalanannya dari...

***

Pada suatu malam, yang penuh dengan lalu lalang kesibukan manusia dengan segala instastory tentang "beban" hidupnya. Lampu-lampu jalan berwarna kuning terang, perempatan dengan aba-aba merah kuning hijau, serta motor matic berlampu sein kanan namun pengendaranya berbelok ke kiri. Malam di sebuah kota yang disebut-sebut sebagai salah satu kota cerdas terbaik, yang ada di Indonesia, Surabaya.

Pada malam itu, bila si Shampo mau disamakan dengan manusia, si Shampo bisa dibilang hendak memasuki masa awal kedewasaannya. Bisalah disamakan dengan mahasiswa yang baru lulus kuliah, dan sedang menunggu untuk dipekerjakan. Yap, benar. Shampo hanya bisa menunggu dipekerjakan. Bukan seperti manusia yang sudah seharusnya mencari pekerjaan, dan tidak hanya menuntut lapangan pekerjaan di akun fanpage meme kekinian.

Malam itu, ia tengah menunggu momen terbaik dalam hidupnya tiba dengan penuh kesabaran yang bercampur harap-harap cemas. Excited kayak nungguin status “sedang mengetik...” dari gebetan. Aku rasa, semua dunia sama saja. Dalam kolase kehidupan pershampoan pun, menunggu dipekerjakan bukan perkara mudah, meski cuma “menunggu”. Si Shampo juga harus bersaing dengan shampo-shampo merk yang lain. Setiap merk pun punya poin plus dan minus masing-masing. Entah itu wanginya, kecocokannya, bahan pembuatnya, harga, hingga jumlah followers mbak-mbak yang menjadi bintang iklannya. Bedanya dengan manusia, skill yang sudah didapatkan para shampo ini tidak bisa diubah atau ditingkatkan lagi. Bahkan, skill tersebut bisa jadi makin berkurang karena termakan usia yang tertera sebagai “tgl exp”. Mereka hanya bisa bergantung pada posisi ketika ia di pajang di Indomaret, Alfamaret, Hypermaret, serta maret-maret lain terdekat, dan kalau lagi kebagian jatah promoan.

Na'asnya lagi, mereka juga harus ekstra bersabar menunggu giliran untuk berada di baris paling depan ketika dipajang. Karena biasanya, barang baru diletakkan di paling belakang kan ya? Jadilah mereka harus menunggu baris demi baris botol shampo didepannya terjual.

Sungguh lucu bukan, kita manusia bisa mempelajari kaidah kesabaran dengan hanya membayangkan kisah hidup sebotol shampo.

Singkat cerita, giliran yang dinanti-nantikan si Shampo pun tiba untuk berada dibaris paling depan. Rasa deg-degan menunggu momen dirinya diambil dan dibayarkan di meja kasir sudah tinggal sedikit lagi. Dadanya bergetar ketika ada manusia yang lewat di hadapannya. Seolah ingin berteriak:

ambil aku!! Hey!!

Sang manusia, hanya melewatinya.

Hey manusia!! Aku! Pilih aku!

Lagi-lagi, ia hanya dilewati.

Hey manusia tampan.. akuu!

Lagi...

Hey! Aku!!

Lagi...

Akuu......!!

Dan lagi...

“.....aku....”

Sebenarnya, beberapa kali ia sempat dipilih dan dibandingkan dengan shampo sebelahnya. Namun, ia kalah karena lawannya sedang ada promo beli shampo gratis sikat gigi. Tak logis memang tapi begitulah kenyataanya.

Aku?? Yes... iya bawa akuu!!

Akhirnya, momen itu pun tiba. Ia dipegang-pegang, dilihat, dan dipilih oleh seongok manusia yang tidak terlalu tampan, namun cukup wangi ketika sedang menggunakan parfum.

Akhirnyaaa.... penantianku tidak sia-siaa.... hiks hiks

Terharu dikala penantian panjangnya usai. Ia pun menangis ketika tiba dimeja kasir. Pegawai kasir pun harus mengusap-ngusap barcode yang ada pada botol si Shampo karena terbasahi oleh air matanya.

Perjalanan pulang didalam kantong kresek bergambarkan “kurangi limbah plastik”-pun terasa begitu menyenangkan. Membayangkan bagaimana ketika akhirnya ia bisa dipekerjakan, dan digunakan di rambut manusia, yang ternyata juga seorang ABK (Anak Baru Kosan).

Selayaknya shampo pada umumnya, ia benar-benar menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan maksimal. Berubah menjadi busa ketika digunakan untuk mencuci rambut. Membuat muka si anak kosan yang dulunya tidak terlalu tampan menjadi tetap tidak terlalu tampan. Serta yang paling penting dan utama, ia berhasil membuat rambut si anak kosan menjadi lebih wangi dan lebih lembut. Ia pun merasa bahwa tujuan hidupnya sebagai shampo, kini telah tercapai. Tinggal menikmatinya saja, hingga si anak kosan mulai memasuk-masukkan air ke dalam dirinya (botol), tanda bahwa perjalanannya akan benar-benar berakhir sebagai sampah daur ulang.

Walaupun... akhir perjalanannya tersebut akan masih cukup lama. Karena nyatanya, sejak ia diambil dari rak toko indomaret enam bulan yang lalu, ia masih ada di jendelan kosan anak manusia yang masih tidak terlalu tampan tersebut. Jarang shampoan anaknya.

Wassalam~

Share: