Jumat, 03 Juni 2016

Jus Apel Ironi di Jum'at Pagi



Untuk beberapa alasan, aku mencoba mengeraskan pikiran ketika bangun tidur tadi. Menoleh kanan dan kiri mengamati jalanan di pagi hari. Mencari secuil inspirasi untuk ditukarkan berkah hari ini.

Jus apel segar ku beli guna membantu inspirasi itu datang. Namun nyatanya ini bukan seperti jus apel yang aku bayangkan. Tetapi lebih terasa seperti jus susu dengan sedikit banget rasa apel. Jus dimana porsi es batu dan susunya, lebih banyak dibandingkan buah apelnya. Ah! Sungguh sebuah "ironi di pagi hari".

Aku duduk santai disamping gerobak sederhana jus buah tadi. Menikmati suasana kota Bangkalan dari jalan tepi. Memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang tanpa henti. Seakan-akan kesibukan semua orang pagi itu tumpah ruah di jalanan.

Ketukan demi ketukan ku arahkan pada layar persegi berukuran 5 inchi. Sembari sesekali menikmati jus apel yang diselimuti ironi. Mencoba mendapatkan sesuatu untuk diperhatikan diantara padatnya kesibukan jalan. Menyulam kata demi kata dengan perlahan. Berharap jadi satu postingan yang akan terpampang di blog nanti. 

Intinya, nulis!


***


Hari ini, bisa dibilang biasa aja. Sama seperti hari-hari yang lalu. Cicilan project tugas kuliah. Percobaan menghibur diri yang kadang sampai kelewatan seharian. Menjadwalkan apa yang akan dilakukan meski pada akhirnya tetap jadi 'jadwal'. Juga sedikit hal-hal yang anak muda lakukan biasanya.

Dan kegiatan awal yang aku mulai untuk pagi ini adalah bayar pajak sepeda motor.

Yes! Pekerjaan yang 'anak muda' banget! Haha.

"Anggap saja lagi jalan-jalan"

Persepsi yang coba aku tancapkan dalam pikiran sambil memanaskan mesin motor. Mengecek kondisi ban depan dan ban belakang. Takutnya posisi mereka tiba-tiba dekat karena kangen sudah lama terpisahkan #hallah. Menarik nafas dalam-dalam. Dan mengeluarkannya secara perlahan selaras dengan tarikan gas di tangan kanan. Let's go gaess...

Tiba-tiba!

"Din!". 

Suara lantang menghatam keras gendang telingaku.

"Din! Tunggu din!". 

Suara yang menghentikan tarikan gas motorku.

"Tunggu!". 

Dengan berlari-lari kecil dia menghampiri ku. Dan...

#pakk!

Tangan itu meraih pundakku.

Suara lantang yang merdu, lari-lari kecil yang sendu, hingga dekapan hangat di bahu. Mungkin itu semua akan jadi begitu syahdu jika pemilik suara dan tangan tadi adalah seorang wanita cantik pemeran utama ftv.

Namun sayangnya, ini bukan televisi... gaes!. Si pemilik suara tadi, adalah bapakku. Ya, pemilik suara lantang dan orang yang lari mengejarku adalah bapakku.

"Nak, kamu salah motor... ayo balikin sama yang punya". Ucap bapakku syahdu.

Hening sejenak.

Aku tatap motor yang aku tumpangi. Aku tatap kembali ke mata bapak. Seakan-akan ada isyarat untuk menoleh ke belakang. Dan ketika aku menoleh. Benar saja, si empunya motor langsung membalas tatapanku tajam. Seakan-akan berkata :

"Cakep juga nih bocah! Leh uga nih dibawa pulang".

Oh men! Sangat manis sekali. Seandainya tatapan itu ngga datang dari seorang bapak-bapak bertampang preman ala sinetron pukul 7 malam. Sekali lagi! Kita ngga lagi ada di televisi. Tapi aura bapak-bapak ini membawa kita disitu bak sedang ada di salah satu scene ftv.

#cut!

Oke. Tanpa basa basi aku turun dengan perlahan. Meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Tak lupa juga memasang muka melas penuh harap pengampunan. Dan mengganti motor. Melakukan pengecekan 'safety riding' seperti biasa. Dan yang paling penting melakukan pengecekan, ini motor bapak udah bener apa belum.

Yosh! Mari tancap!

Aku berangkat dengan pasti, menyusuri jalanan di jum'at pagi. Tempat tujuanku adalah kantor Samsat Bangkalan. Bayar pajak bro! Biar jadi warga negara yang baik dan benar.  Dan motorku melaju dengan santainya.


***

Agak kesiangan sepertinya.

Begitulah gambaran yang terlintas di pikiran ketika melihat segerombolan pelajar SMP turun dari angkot. Sedikit bernostalgia dengan seragam coklat yang mereka gunakan. Masa-masa dimana angkot kosong adalah prioritas dan duduk di kursi sebelah supir adalah sebuah kesenangan tesendiri. Ah... umur!

Aku terus memacu laju motor dengan sederhana. Seakan nostalgia tadi menjadi lagu pengiring dalam sebuah cerita. Waktu pun ikut terhanyut karenanya. Tanpa sadar, aku sudah memasuki daerah kota, dan sampai di kantor Samsat Bangkalan. 

Aku menyalakan lampu sein kiri, dan mulai memutar kendali dengan hati-hati. Tepat ketika aku melewati gerbang, seorang lelaki paruh baya menyambut kedatanganku dengan senyumnya. Tanpa berkenalan pun, aku sudah bisa menebak siapa beliau. Aku bergegas menuju tempat kosong diantara jejeran sepeda lainnya. Memastikan posisi sepeda motor sudah mantap dan melepas helm. Aku sempat menoleh ke arah pria paruh baya tadi. Lagi-lagi, beliau mensuguhkan senyumannya. Namun kali ini sedikit berbeda. Seakan-akan beliau berkata :

Kita akan bertemu lagi setelah kamu selesai, pemuda!

Ya. Dialah orang yang menyambut kedatanganku, juga orang yang akan melepasku pergi di Samsat hari itu. Selamat bertugas! Pak parkir!

Aku bergegas menuju sebuah loket di belakang kantor Samsat untuk membeli map. Yang kalau ngga salah, beberapa bulan yang lalu harganya masih Rp. 1000 per buahnya. Sekarang sudah berevolusi menjadi Rp. 5000 per buahnya. Wow kah? Positif thinking sajalah ya. Mungkin bahan untuk membuatnya lebih ‘berkualitas’ dibanding beberapa bulan yang lalu.

Ngga ada yang spesial selama aku melakukan pembayaran pajak. Semua ketentuan dan alurnya sudah terpampang jelas di sebuah papan yang ada dalam ruangan pendaftaran. Tinggal baca persyaratannya, lengkapi dan daftarkan formulir dengan map ‘berkualitas’ beserta STNK dan KTP asli di dalamnya. Dan proses menunggu pun dimulai.

Sempat terbesit untuk melakukan testing pada toilet yang ada di Samsat. Tapi jariku sudah terlanjur beradu dengan keyboard virtual di handphone untuk menyelesaikan target hari ini. Nulis!

Lebih dari sepuluh paragraf tercipta ketika proses menunggu pembayaran pajak. Sampai akhirnya nama bapakku disebut melalui sound system untuk menghadap loket dua. Pembayaran dilakukan. Dan selesai! Mudah kan? 

Jadi... kapan bayar pajak? Hahaha

Aku keluar Samsat dilepas dengan ikhlas oleh Pak Parkir sesuai janjinya. Masih dengan orang yang sama, baju yang sama, serta senyum yang sama saat beliau menyambut kedatanganku.

Sempat berpikir untuk langsung pulang. Tapi sepertinya, 10 pragraf yang aku rangkai tadi harus segera kulanjutkan. Selagi semangatnya masih ada, tinggal menambah sedikit suasananya. Dan Stadion Gelora Bangkalan adalah tempat yang ku tuju selanjutnya. Tempatku mengadu jari-jari sekali lagi. Hingga jadilah tulisan ini.

Ini adalah sebuah tulisan yang ku buat pada hari Jum’at pagi. Tentang pagi berganti siang dengan melakukan kegiatan yang ‘anak muda’ banget! (baca: bayar pajak sepeda motor). Dan menghabiskan segelas jus apel ironi sebagai penutupnya.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar