Sabtu, 30 Januari 2016

Perjalanan Ujung Pulau #4 : Pantai Ropet ataukah Tebing Ropet?

Suasana pantai...

*jrengjreng* *jrengjreng*

Uyeee...

Ouuu bikin hati santai...

*jrengjreng* *jrengjreng*

Uuuye uyeee...

Suasana pantai....


*ceritanya mendadak reggae gaes... *

*plis jangan bayangin gimana suara aslinya haha*

Nikmatin pemandangan dan oksigen tingkat tinggi di Batu Sponge sudah. Jadi “Udin the Explore” di Gua Mahakarya sudah.

Akhirnya, tiba juga saatnya jadi “Udin AnakPantai” haha *maksa banget*.

Pantai Ropet - Giliyang

Jujur, aku sempat membayangkan pantai dengan pasir seperti apa yang akan ditawarkan Pulau Giliyang. Mengingat pulau ini sebagian besar tersusun dari batuan. Dan terjawablah sudah rasa penasaran tersebut.

Benar-benar nggak ada pasir sama sekali disini. Yang aku temui hanya batuan.

Pinggiran tebinng Pantai Ropet

Iya... lebih tepatnya tebing dengan pemandangan yang ajegile bikin mata nggak berkedip! Birunya... anginnya... benar-benar membuat pikiran jadi santai. Nggak kalah lah sama Tanah Lot di Bali *mungkin*.

View karang-karang dari atas tebing Pantai Ropet

Serasa dosa besar kalau udah liat karang yang kayak begitu. Tapi nggak terjun dan berenang diantaranya. Bersama ikan-ikan kecil yang tak peduli dengan panasnya cuaca hari ini.

Iya, sayang banget. Kita sampai disini siang bolong. Jadi panasnya lumayan menusuk hingga ke dalam kalbu. Kalbu ayam dan kalbu sapi... ah jadi laper... *itu kaldu woy! -,-*

#toiletman ngeksis! #udahgituaja

Seperti yang dilihat pada gambar-gambar kece diatas *abaikan saja orangnya*, pantai ini tersusun dari tebing yang kalau menurutku semacam karang raksasa. Karena tebing disini memiliki tekstur yang mirip karang dan di beberapa bagian agak tajam.

Disekitar pantai ada gubuk sederhana untuk berteduh. Disitulah kami berkumpul mengistirahatkan tubuh dan kalbu tadi dari panasnya matahari. Mataku sempat menilisik setiap bagian daerah sekitar pantai. Sayang seribu sayang, belum adanya fasilitas toilet yang sangat penting. Apalagi bagi orang sepertiku. *dasar toiletman! haha*

Sempat berkeliling menelusuri pantai, siapa tau toiletnya lagi sembunyi. Ternyata emang nggak ada. *bilang aja emang kurang kerjaan keliling-keliling nggak jelas -,-*. Yang aku temukan hanya sumur. Itupun tanpa penghalang, jadi mungkin bakal rada susah kalau mau membilas tubuh disitu.

Ini sumur... bentuknya bulat. *maaasak sih? -_-*

Apalagi aku yang bilas tubuh... beh... langsung tiba-tiba ada konser. Disiapkan panggung, lightning, lalu sebelum tampil, ada efek asap-asap putih gitu. Pengiringnya DJ sama orkesta. Cuma untuk nonton aku bilas tubuh diatas panggung! Wahaha... keren nggak tuh...

Yak! mari kita sambu...

#plak #plak #plak

“Woy Din bangun! Bangun!!”. Kata temenku masih sambil #plak #plakin kepalaku

“Wah udah subuh ya...”. Jawabku dengan muka pangeran bangun tidur *pangera kodok! -__-*

“Subuh subuh gundulmu! Hayuk mau ke tempat selanjutnya ini elah! Tidur nggak tau tempat”. Bales temenku kesel.

Haha maafkan pemirsa, maklum agak kurang tidur. Duh jadi malu... hehe.

Share:

Jumat, 29 Januari 2016

Perjalanan Ujung Pulau #3 : Udin the Explorer at Gua Mahakarya, Giliyang


Matahari mulai menegaskan keberadaannya. Cuaca panas yang menandakan kalau kami sedang berada di pulau Madura. Cukup hitungan menit, kulit yang aku olesi krim, salep bahkan susu tiap harinya *ini bohong -,-*, sudah berubah menjadi agak cokelat. *padahal aslinya emang sawo kelewat mateng, haha*.

Puas bercekrak-cekrek ria di Batu Sponge, kami bergegas menuju tempat eksotis selanjutnya. Gua Mahakarya.

Masih tetap dengan dorkas yang tadi, desek-desekan yang tadi, dan juga mas-mas tour guide yang *agak* lumayan cakep *dikit* yang tadi. Bedanya? Kami udah nggak kayak orang gila teriak-teriak di jalan. Udah pada sibuk minum dan nutupin badannya dari sinar matahari. Haha. *sambil pasang jaket di kepala ala ibu-ibu pengajian* *silahkan dibayangin*

Jalan menuju Gua Mahakarya

Untuk menuju Gua Mahakarya, kita harus berjalan kaki agak jauh dari tempat parkir dorkas. Hampir sama seperti tadi, ada pepohonan disamping kanan kiri jalan. Hanya saja, disini jalannya masih tanah.

Di tengah perjalanan, lagi-lagi aku menemukan hal yang misterius dan masih menjadi sebuah misteri hingga aku nulis artikel ini. Lihatlah gambar pohon di bawah ini.

ada tumpukan rumput kering diatas pohon tersebut

“Itu apa pak?”. Tanyaku sama bapak yang mengantar kami menuju gua.

“Itu ya pohon dek, masak nggak tau”. Jawab bapak tersebut polos.

*Masak sih bapaaaak -_- masak iya aku nggak tau kalau itu pohon*

“Maksud saya yang itu lho pak, yang numpuk diatasnya”. Sambil nunjuk gumpalan diatas pohon tersebut.

“Oh... kalau itu rumput dek, buat pakan ternak”. Jawab bapak tersebut dengan muka yang masih polos.

Unik juga sih, kalau mereka menyimpan pakan ternak dengan cara seperti itu. Tapi pertanyaannya adalah, “Gimana caranya mereka ngasih makan ternak dengan tempat menyimpan pakan setinggi itu? Hewan apa yang mereka ternak? Dan hewan ternak apa yang mau makan rumput kering tersebut?”.

Masih menjadi sebuah misteri... hihihihihi

*tiba-tiba ada suara serigala*

Auuuuuuuuuuuu...

Oke skip!

Dan... akhirnya, sampailah kita disini. Di rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah yang kuasa. Semuanya ada disini... Rumah kita... #plak! *malah nyanyi -,-*

Lokasi Gua Mahakarya

Gerbangnya lucu ya... sederhana dan apa adanya banget

Untuk memasuki gua ini kita harus jalan merunduk sejauh  10 meter ke dalam. Dan ketika udah udah di dalam. #jreng! Luas banget! Saking luasnya aku tiba-tiba reflek nyari bola buat maen futsal. Tapi nggak nemu -,-


GuaMahakarya ini awalnya bernama Gua Celeng. Celeng sendiri merupakan jenis anjing hutan liar. Dan gua ini adalah tempat tinggalnya. Namun setelah gua ini ditemukan dan sering di masuki manusia. Celeng tersebutpun pergi.

Dear celeng, semoga sukses di tempat lain ya... *sambil ngelus lobang yang katanya bekas tempat tidur celeng tersebut*.

Mantan sarang celeng. iya... Mantan!

Nama Gua Mahakarya sendiri adalah nama yang diberikan warga sekitar. Aku sempet nanya apakah gua ini memiliki sejarah selain celeng tadi. Misal tentang masa penjajahan atau semacamnya. Namun ternyata mereka tidak tau.

Semakin memasuki gua, terkadang terasa panas. Karena di beberapa bagian gua hampir tidak ada lubang yang yang dapat dilewati udara. Penerangan yang ada di gua pun hanya berupa lampu-lampu kecil hasil bantuan dari mahasiswa ITS. Masih agak gelap sih, tapi itu yang bikin greget. Jujur, aku nggak berani nyusuri gua in sendirian. Tapi ya... sok berani aja haha. Dinding-dinding gua yang berkelap-kelip terkena lampu senter semakin menambah eksotisme yang dimiliki gua ini.

Dinding yang berkelap-kelip terkena cahaya

Feel like... i’m Udin the Explorer! Oyeahhh

*kok jadi keinget Dora the Explorer ya? haha*

*ketauan deh tontonan masa kecil dulu hihi*

Yes! Petualangan bawah tanah yang nggak bakal terlupakan!

Sayangnya, ada sebagian dinding gua yang sudah ternoda oleh tangan-tangan jahil. Dan masih adanya sampah-sampah plastik di beberapa bagian gua. Mungkin ini bisa perhatian bagi warga sekitar untuk ikut menjaga keindahan yang sudah diberikan oleh alam. Udah dikasi yang beginian masak iya nggak dijaga, malu sama gumpalan rumput kering diatas pohon tadi!

*hubungannya apa cobak maksudnya -,-*

Eksis dulu gan hehe.


Share:

Senin, 18 Januari 2016

Perjalanan Ujung Pulau #2 : Giliyang dan Spongebob?


Cekrek cekrek upload

Cekrek cekrek upload

*ini masih bunyi alarm #korbaniklan*

*sek. -___- alarm macam apa ini*

Cekrek cekrek tinut! *alarm dimatikan*

*garuk-garuk dikit*

*nguap gak jelas*

*tangan raba-raba nyari hape*

“Yossha! Selamat Pagi Sumenep!”

Begitulah status BBM yang aku update dengan mata yang masih belum sehat. Hahaha #biarkekinian #dikitdikitupdate #dikitdikitupload.

Pagi datang dengan dingin dan sejuknya. Menemani langkah kami menuju tempat pertemuan peserta di kantor Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Sumenep. Dan hal wajib yang kami lakukan ketika berkumpul  seperti ini adalah... main bekel sama masak-masak.

ya foto-foto lah, ah elah...
Selain dari blogger Jatim, kami juga ditemani oleh beberapa petugas dari Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Sumenep, yang juga sebagai tour guide untuk mengelilingi pulau Giliyang. Tapi sayangnya, mereka cowok sih hahah elah...

Untuk menuju pulau Giliyang kita harus menaiki perahu dari pelabuhan Dungke’. Sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari kantor DISBUDPORA Sumenep. Sampai di pelabuhan kita sarapan bersama sembari menikmati suasana pinggir lautan yang damai.


Pelabuhan Dungke' - Sumenep


Perahu yang akan membawa kami ke pulau Giliyang

Satu-satunya akses menuju pulau Giliyang adalah dengan perahu. Karena aku udah coba kelilingin pelabuhan tersebut, nggak nemu jembatan. *kurang kerjaan banget -_- udah tau namanya pelabuhan masak iya nyari jembatan*. Jujur, ini adalah kali pertama aku naik perahu dengan jarak tempuh paling jauh, sekitar 45 menit perjalanan. Ketauan banget kan nggak pernah jalan-jalan... hahaha. Sebagian teman nggak mau sarapan karena takut mabuk laut katanya. Aku sih bodo amat, perut udah broadcast massage berkali-kali dari tadi.

Dan dengan segeplok nyali beserta “Bismillahirrohmanirrohim”, yokk mari berangkat ke pulau Giliyang.

*lalu semacam ada backsound ukulele gitu*

#jreng #jreng

#jreng #jreng

#jreng #jreng

yah beginilah suasana di atas perahu (pemberangkatan)

Wisata kita kali ini disebut juga wisata kesehatan. Kenapa begitu? Hal itu dikarenakan pulau Giliyang ini merupakan pulau dengan kandungan oksigen tertinggi nomor 2 di dunia. Udaranya juga bersih dan alami. Maka dari itu ketika pertama kali aku nyentuh pasir dari pulau ini, yang bakalan aku lakuin adalah... nyari toilet kyahahaha. Namanya juga toiletman.

Ngomongin soal kesehatan, fakta lain dari pulau ini adalah masih banyaknya manula-manula yang meskipun sudah berumur, namun mereka masih bisa mengerjakan pekerjaan berat. Seperti melaut, mengambil air, berkebun dan lain sebagainya. Maka dari itu, mumpung lagi di Giliyang aku mencoba menghirup sebanyak-banyaknya udara yang ku bisa. Yang biasanya aku hirup 10 kali permenit, jadi 20 kali permenit. *hahaha lagi nafas ama sessek yang beda tipis*

Ada satu hal yang sebenarnya aku pengen tanyain sama penduduk sini tapi gak jadi. Yaitu: bagaimana caranya mereka bawa benda yang sedang kita naiki ini dari pulau seberang?.

Dorkas at Giliyang

Hmmm... sepertinya emang nggak pantes buat ditanyain. Karena udah pasti jawabannya pake perahu hahaha. 

Tapi... perahu yang mana? Masih menjadi sebuah misteri hihihihiiii

#abaikan

Yakk beginilah cara kami mengelilingi pulau ini. Lumayan desek-desekan sih, tapi aslih seru banget. Hampir setiap ada orang di pinggir jalan kita dada-dadain. Sok sok belaga artis yang baru ngetop pulang kampung halaman  gitu. Padahal mah, nggak dikira orang gila udah untung haha.

Transportasi greget buat ngelilingin pulau Giliyang

Puas teriak-teriak + foto-foto di jalan nggak jelas, sampailah kita di spot oksigen pertama, Batu Sponge (baca : spong).

Jalan setapak yang menyambut kita menuju Batu Sponge, Giliyang

Agak aneh sih namanya. Tapi menurut mas-mas tourguide yang *lumayan* cakep *dikit* ini, nama Batu Sponge sendiri terinspirasi dari Spongebob. Awalnya, pulau Giliyang ingin diperkenalkan dengan nama pulau Spongebob. Dikarenakan banyaknya rongga-rongga yang ada di Pulau ini. Hampir keseluruhan pulau terdiri dari batuan dan ada banyak sekali gua di pulau ini. Yang artinya, pulau ini bak batuan besar yang memiliki banyak rongga seperti Spongebob. Contoh kecilnya adalah Batu Sponge ini.

Penamapakan Batu Sponge yang eksotis

Yah, meskipun kalau menurutku sih, lebih semacam sarang semut raksasa. Dari puncak batu ini kita disuguhkan pemandangan lautan biru Madura yang benar-benar mempesona. Ditambah udara yang segar membuat aku yang awalnya bernafas 20 kali permenit, pengen nambah lagi jadi 25 kali permenit. Mungkin bentar lagi disiapin tandu Hahaha.

Jangan tanya ini siapa. Pokoknya jangan. twitternya @eobbher #eh

Pemandangan dari atas Batu Sponge, Giliyang

Yakk kecup manis dari Giliyang... muah!

*seketika kamera jadi hitam agak berasap! -_-*


Bersambung
Share: